Beranda | Artikel
Tawakal yang Sebenarnya
Kamis, 18 Februari 2021

Edisi 1633

<<<>>>

  1. 1.Tawakal adalah penyandaran hati pada Allah Ta’ala untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
  2. 2.Tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
  3. 3.Setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Jika ada suatu ibadah yang ditujukan kepada selain Allah, maka pelakunya telah terjatuh dalam kesyirikan. Tawakal merupakan salah satu ibadah, sehingga harus ditujukan hanya kepada Allah. Sandarkan hati hanya kepada Allah, bukan kepada sebab atau makhluk.
  4. 4.Hendaknya seseorang tidak hanya bertawakal untuk urusan dunia semata, tetapi juga dalam urusan akhiratnya untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. 

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” 

(Q.S. Ath Thalaaq: 2-3)

<<<>>>

Bismillah, wash-shalatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du.


Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian orang yang hanya berdoa tanpa bekerja atau seorang pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian, pada malam harinya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi ujian namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal? Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faidah dari tawakal tersebut.

Tawakal yang sebenarnya bukan hanya pasrah

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam ketika menjelaskan hadits no. 49 tentang keutamaan tawakal mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’”.

Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya

Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (Q.S. An Nisa: 71). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (Q.S. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Burung saja melakukan usaha untuk bisa kenyang

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”(H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini  jahil (tidak tahu ilmu). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rezeki” (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah).

Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha, sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah).

Tawakal yang termasuk syirik

Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat, dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut, tetapi Allah Ta’ala semata.

Setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah (yaitu sebab yang dilakukan), maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam (yaitu kepada sebab) ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk dalam suatu perkara yang tidak mampu untuk dilakukannya, kecuali oleh Allah Ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapa pun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah Ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia melakukan suatu sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29).

Nasihat Tentang tawakal

Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dakwah, dan jihad fii sabilillah

Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid, dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faidah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. Ath Thalaaq [65]: 2-3). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). 

Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kita, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal, dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.

Artikel utama ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc., dimurojaah oleh Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I., disarikan dari artikel https://muslim.or.id/506-tawakal-yang-sebenarnya.html


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/tawakal-yang-sebenarnya/